Senin, 02 April 2018

PERMASALAHAN PENERAPAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN


PERMASALAHAN PENERAPAN HAK ANGKET
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
Oleh: Abdul Hafid Firdaus
Hukum Bisnis Syariah
Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri  Malang


Abstrak : Permasalahan penerapan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap komisi pemberantasan korupsi (KPK), kewenangan dalam Hak Angket DPR tidak dapat terlepas terhadap keinginan DPR dalam menjalankan tugas pengawawasan yang lebih efektiflagi. akantetapi, keberadaan Hak angket yang dimiliki DPR selama ini masih berada dalam  ketidakjelasa. Tentunya memiliki efek negatif terhadap keberadaan hak angket tersebut, penulisan artikel ini termotivasi dari adanya dampak negatif atau lebih tepatnya adanya problematika yang timbul dari hak angket yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Keywords : DPR, KPK, Hak Angket.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasai oleh konstitusi.[1] Oleh karena itu menurut Montesquieu dengan teori trias politica yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, sehingga tidak ada lagi yang dominan dalam menjalankan pemerintahan, seperti eksekutif dalam menjalankan kebijakannya selalu dipantau oleh legislatif atau di Indonesia disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hak angket adalah salah satu hak yang dimiliki DPR. Hak ini melekat maupun dilekatkan kepada fungsi atau jabatan DPR. Karena itu, hak angket diletakkan sebagai hak institusi atau hak kelembagaan. Dengan demikian, hak angket adalah perangkat untuk merealisasikan fungsi DPR. Selain hak kelembagaan, hak perseorangan (anggota) juga menjadi alat untuk merealisasikan melaksanakan fungsi DPR seperti hak mengajukan usul rancangan undang-undang, hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat. Hak perseorangan lainnya, yaitu hak untuk memilih dan dipilih, hak membela diri, hak imunitas, hak protokoler, dan hak keuangan/administratif tidak bersangkutan dengan perwujudan fungsi DPR, melainkan bertalian dengan kedudukan sebagai anggota DPR sehingga lebih bertalian kapasitas pribadi.[2]
Pengawasan (controlling) adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan suatu Negara yang disesuaikan dengan suatu rencana. Apabila dikaitkan dengan hukum dalam pemerintahan, pengawasan dapat berarti kegiatan yang ditujukan untuk menjamin suatu sikap pemerintah supaya tetap berjalan dengan hukum yang telah berlaku.
Dengan melewati suatu pelaksanaan fungsi terhadap pengawasan, dimana lembaga ini bertugas melindungi kepentingan rakyat, sebab dengan melalui penggunaan suatu kekuasaan yang berlandaskan fungsi ini, DPR dapat mengoreksi semua kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui pelaksanaan berbagai hak DPR. Dengan demikian tindakan yang dapat mengabaikan kepentingan anggota masyarakat dapat diperbaiki. Tolak ukur suatu kontrol politik (pengawasan) berupa nilai politik yang dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan dalam kebijakan atau undang-undang. Yang maana fungsinya adalah untuk meluruskan suatu kebijakan maupun suatu pelaksanaan kebijakan menyimpang dan mereparasi kekeliruan sehingga kebijakan maupun pelaksanaannya searah dengan hal tersebut. Fungsi kontrol merupakan konsekuensi logis dalam sistem demokrasi dalam memperbaiki dirinya.[3] Mengenai fungsi tersebut, berfungsi menjalankan bersama-sama yang terdapat sistem checks and balances.

Hak-Hak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak, yaitu:[4]
1.      Hak Interpelasi, merupakan hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk memohon kejelasan kepada Pemerintahan terhadap suatu kebijakan Pemerintahan yang urgen dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.[5]
2.      Hak Angket, adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat dalam pelaksanaan tugas penyelidikan terhadap penerapan suatu undang-undang maupun kepada kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal-hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[6]
3.      Hak Menyatakan Pendapat, yaitu hak Dewan Perwakilan Rakyat dalam mempersatukan pendapat terhadap:[7]
a.       Suatu kebijakan pemerintah atau terhadap kejadian luar biasa yang terjadi di Indonesia maupun lingkup internasional;
b.      Tindakan lanjut suatu pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau
c.       Suatu dugaan bahwa Presiden maupun Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat, korupsi, penyuapan, lainnya, atupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden maupun Wakil Presiden tidak dapat lagi memenuhi syarat sebagai Presiden maupun Wakil Presiden.
Hak Angket DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya termasuk tugas pengawasan, berhak memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk melalui proses rapat kerja, melakukan rapat denga pendapat, melakukan rapat dengan pendapat umum, melakukan rapat panitia khusus, melakukan rapat panitia kerja, melakukan rapat panitia tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara.[8] Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR tersebut.[9]
Hak angket itu diajukan oleh minimal 25 orang anggota DPR dan melebihi satu fraksi.[10] Proses pengusulan hak angket yang disertai dengan suatu dokumen yang termuat paling sedikit:[11]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menjadi Objek Hak Angket.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 30/2002”) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Perpu 1/2015”) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai tugas:[12]
a.       Koordinasi dengan instansi yang bewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.      Supervisi terhadap instansi yang bewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.       Melakukan proses penyelidikan, atau penyidikan, maupun penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi;
d.      Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
e.       Melakukan suatu proses monitoring kepada penyelenggara pemerintahan didalam negara.
Sedangkan hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pempinan lembaga pemerintah nonkementerian.[13]
Jika melihat dari penjelasan banyak di atas, KPK bukanlah penyelenggara pemerintahan maupun bertugas membuat suatu kebijakan pemerintah, melainkan merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang salah satu tugasnya adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan hak angket sendiri hak untuk melakukan penyelidikkan terhadapi pelaksanaan suatu undang-undang maupun kebijakan yang dijalankan oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pempinan lembaga pemerintah nonkementerian. Selain itu juga, yang dipanggil oleh panitia angket DPR untuk menjalankan hak tersebut adalah warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan. Jika ditarik kesimpulan dari penjelasan tersebut, maka KPK tidak termasuk dari objek hak angket DPR.
Kesimpulan
1.      Pasal 79 UU No. 17 Tahun 2014 menjelaskan bahwa salah satu hak DPR adalah merupakan Hak angket. Namun di dalam kasus antara DPR dan KPK, hak angket tidak bisa dilakukan oleh pihak DPR kepada KPK. Karena hak angket berlaku hanya untuk pemerintah dan yang dimaksud selalu eksekutif.
2.      KPK memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan kekuasaan yudikatif, Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang memiliki tugas maupun wewenang dalam memeriksa maupun memutus tindak pidana korupsi dimana penuntutannya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Bidikmisi.
3.      Proses pelaksanaan Hak Angket yang transparan akan dikoreksi oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR, semua elemen masyarakat akan kembali pada kesibukannya masing-masing. Begitu juga dengan DPR. Terhadap aktivitas parlemen, tentu saja perhatian publik masih tertuju pada pelaksanaan Hak Angket DPR atas KPK.
Referensi
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu HukumTata Negara, cet II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 82.Pasal 79 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2014.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002
Penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3.
Undang-Undang No. 42 tahun 2014
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014




[1] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu HukumTata Negara, cet II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 281.
[2] UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3, Pasal 28.
[3] Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 82.
[4] Pasal 79 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014
[5] Pasal 79 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2014
[6] Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014
[7] Pasal 79 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2014
[8] Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang No. 42 tahun 2014
[9] Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang No. 42 tahun 2014
[10] Pasal 199 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014
[11] Pasal 199 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014
[12] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002
[13] Penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014

Selasa, 13 Maret 2018

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA (Indri Wahyuningseh)



 WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA
Indri Wahyuningseh
15220115 (D)

Abstract
            The development of car lease rental business is currently increasing, where one of the factors caused by the increasing demand for car rental from tourists. With the development of rental car rental business, so often there is a problem, especially between parties who rent a vehicle with the tenant in terms of trust given by the party who leases to the tenant, where the trust is often misused by the tenant in leasing the car so that the lease often feel disadvantaged by the tenant such as the tenant did not meet the achievements at all, not able to carry out what is promised, carry out what is promised but too late and do actions that are prohibited in the agreement. In this case the tenant may be said to have made a default against the leasing party. Related to that matter will be discussed about how the settlement if the tenant to do wanprestasi with company rental car in the lease agreement.

Keyword : Agreement, Lend-Lease, breach of contract.
Abstrak
            Perkembangan bisnis sewa menyewa mobil saat ini semakin meningkat, dimana salah satu faktor penyebabnya karena meningkatnya permintaan sewa mobil dari wisatawan. Dengan semakin berkembangnya usaha sewa menyewa mobil, maka sering pula terjadi suatu permasalahan terutama antara pihak yang menyewakan kendaraan dengan pihak penyewa dalam hal kepercayaan yang diberikan oleh pihak yang menyewakan kepada pihak penyewa, dimana kepercayaan tersebut sering disalahgunakan oleh pihak penyewa dalam menyewakan mobil sehingga yang menyewakan sering merasa dirugikan oleh pihak penyewa seperti misalnya penyewa tidak memenuhi prestasi sama sekali, tidak mampu melaksanakan seperti apa yang dijanjikan, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat dan melakukan tindakan yang dilarang dalam perjanjian. Dalam hal ini maka penyewa dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi terhadap pihak yang menyewakan. Berkaitan dengan hal tersebut maka akan dibahas mengenai bagaimana penyelesaiannya apabila penyewa melakukan wanprestasi dengan perusaan rental mobil dalam perjanjian sewa menyewa tersebut.
Kata Kunci : Perjanjian, sewa menyewa, wanprestasi.

PENDAHULUAN
            Pada era reformasi ini berkembang arus globalisasi ekonomi dalam kerjasama dibidang jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin banyak mengikat dirinya dengan masyarakat lainnya, sehingga timbul perjanjian salah satunya adalah perjanjian sewa menyewa. Perjanjian sewa menyewa banyak digunakan oleh para pihak pada umumnya, karena dengan adanya perjanjian sewa menyewa ini dapat membantu para pihak, baik itu dari pihak penyewa  maupun pihak yang menyewakan. Penyewa mendapatkan keuntungan dari benda yang disewakan sedangkan yang menyewakan akan memperoleh keuntungan dari harga sewa yang telah diberikan oleh pihak penyewa.
            Sewa menyewa merupakan perbuatan perdata yang dapat dilakukan oleh suatu subyek hukum (orang dan badan hukum). Perjanjian sewa menyewa diatur dalam Pasal 1548-1600 KUH Perdata. Berkaitan dengan hal tersebut, unsur-unsur yang tercantum dalam sewa menyewa sebagaimana diatur dalam pasal 1548 KUH Perdata tersebut adalah : (1) Adanya pihak yang menyewakan dari pihak p  enyewa. (2) Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak. (3) Adanya subyek sewa menyewa yaitu barang (baik barang bergerak maupun tidak bergerak). (4) Adanya kewajiban dari pihak  yang menyewakan kenikmatan kepada pihak yang menyewa atas suatu benda dan lain-lain. (5) Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran kepada pihak yang menyewakan.
            Penggunaan mobil rental oleh penyewa mobil diawali dengan terikatnya perusahaan pelayanan rental mobil dengan penyewa mobil dalam perjanjian sewa menyewa mobil untuk jangka waktu tertentu baik dengan atau tanpa diberikan jaminan oleh penyewa mobil kepada perusahaan pelayanan rental mobil, yang mana di dalam perjanjian pihak-pihak yang tidak memberikan jaminan tidak kepada semua orang yang meyewa mobil, melainkan hanya kepada orang-orang yang dianggap oleh perusahaan rental mobil dapat dipercaya, sedangkan yang menggunakan jaminan biasanya jaminan yang dipakai antara lain meliputi, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan motor milik sang penyewa tersebut, yang berakibat timbulnya suatu perikatan.
            Akan tetapi dalam kenyataannya perjanjian sewa menyewa tidak semua perjanjian terlaksana seperti yang diperjanjikan, terkadang pihak yang menyewakan tidak dapat memenuhi kewajiban sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian. Tidak terpenuhinya kewajiban tersebut disebabkan karena adanya kelalaian atau kesengajaan atau karena suatu peristiwa yang terjadi diluar masig-masing pihak. Dengan kata lain disebabkan oleh wanprestasi dan overmacth. Overmacth dan keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.[1]
            Wanprestasi adalah tidak dipenuhinya atau lalai melaksanakan kewajiban (prestasi) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditor dan debitor.[2] Wanprestasi dapat berupa:
a.       Tidak melaksanakan apa yang disamggupi akan dilakukannya.
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana mestinya.
c.       Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
d.      Melakukan suatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
            Penyalahgunaan mobil yang disewa selain mengakibatkan kerugian terhadap perusahaan rental mobil juga mengakibatkan kerugian oleh masyarakat akibat dari ketidak-tauhannya bahwa mobil yang dijadikan jaminan untuk suatu transaksi pinjam uang adalah mobil rental sehingga ketika pinjaman jatuh tempo, mobil tidak dapat di tarik karena bukan milik peminjam uang (penyewa mobil), namun milik perusahaan rental mobil.
            Dalam hal wanprestasi kasusnya yang terjadi di dalam perjanjian sewa menyewa sering terjadi wanprestasi seperti pengembalian barang yang disewa tetapi terlambat hal tersebut sering kali membuat rugi bagi pemilik usaha rental, barang yang disewa digadaikan oleh debitor dan barang yang disewa digunakan untuk melanggar Undang-undang yang berlaku dan masih banyak yang lainnya. Dalam hal ini keahlian dan pengetahuan setiap orang yang melakukan kesepakatan sangat berpengaruh, karena tidak sedikit wanprestasi yang terjadi berdampak pada penilaian masyarakat, kesalahan yang dibuat oleh seseorang sering menjadi bahan pembicaran dikalangan masyarakat. Dalam hal ini seperti bukti tertulis berperan sangat penting untuk memberikan keterangan mana pihak yang berprestasi dan mana pihak yang tidak berprestasi.  
PEMBAHASAN
Pengertian Wanprestasi
            Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti “kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam kontrak”. Jadi, wanprestasi adalah suatu keadaan dalam mana seorang debitor (berutang) tidak melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitor itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (overmacht).
            Wanprestasi ( default, nonfulfillment, breach of contract, atau cidera janji), menurut Munir Fuady, adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kantrak terhadap pihak-pihak tertentu yang disebutkan dalam kontrak, yang merupakan pembelokan pelaksanaan kontrak, sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan oleh salah satu atau para pihak.[3]
            Seorang debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, yang dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 (empat) macam wujudnya, yaitu:
1.      Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;
2.      Melaksanakan prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya;
3.      Melaksanakan prestasi , tetapi tidak tepat pada waktunya;
4.      Melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam kontrak.
            Secara praktikal, sulit untuk menentukan momen atau saat terjadinya wanprestasi dalam wujud tidak melaksanakan prestasi dan melaksanakan prestasi tetapi tidak tepat waktunya, karena para pihak lazimnya tidak menentukan secara tegas waktu untuk melaksanakan prestasi yang dijanjikan dalam kontrak yang mereka buat. Selain itu, juga sulit menentukan momen atau saat terjadinya wanprestasi dalam wujud melaksanakan prestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya, jika para pihak tidak menentukan secara konkrit pretasi yang seharusnya dilaksanakan dalam kontrak yang mereka buat.
            Wujud wanprestasi yang lebih mudah ditentukan momen atau saat terjadinya adalah melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam kontrak, karena jika seorang debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontak itu melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam kontrak, maka dia tidak melaksanakan wanprestasinya.
            Meskipun sulit menentukan momen/saat terjadinya wanprestasi, KUH Perdata memuat ketentuan yang dapat dirujuk, khususnya bagi kontrak yang prestasinya memberikan sesuatu, yaitu pasal 1237 KUH Perdata, yang rumusan selengkapnya, sebagai berikut:
            “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan kreditor. Jika debitor lalai akan menyerahkannya, maka sejak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”.
            Merujuk kepada Pasal 1237 KUH Perdata, dapat dipahami bahwa wanprestasi telah terjadi  saat debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tidak melaksanakan prestasinya, dalam arti dia lalai menyerahkan benda/barang yang jumlah, jenis, dan waktu penyerahannya telah ditentukan secara tegas dalam kontrak.
Dasar hukum wanprestasi
            Pasal 1238 “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”
            Pasal 1234 BW “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitor, walaupun telah dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Pada dasarnya Debitor wanprestasi kalau debitur:[4]
1.      Terlambat berprestasi
2.      Tidak berprestasi
3.      Salah berprestasi
Model-model wanprestasi dan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial
            Ada berbagai model bagi para pihak yang tidak memenuhi prestasinya walaupun sebelumnya sudah setuju untuk dilaksanakannya. Model-model wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi
b.      Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi
c.       Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi
            Dalam hal wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi, dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan suatu doktrin yang disebut dengan “Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial” (Substansial Performance). Yang dimaksud dengan “Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial” adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia disebut telah tidak melaksanakan kontrak secara “material” (material breach).
            Karena itu, jika telah dilaksanakan substansial performance terhadap kontrak yang bersangkutan, tidaklah berlaku lagi doktrin exceptio non adimpleti contractus, yaitu doktrin yang mengajarkan bahwa apabila satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga tidak melaksanakan prestasinya.
            Misalnya jika seorang kontraktor mengikat kontrak dengan pihak bouwheer untuk mendirikan sebuah bangunan, misalnya dia hanya tinggal memasang kunci bagi bangunan tersebut sementara pekerjaan-pekerjaan lainnya telah selesai dilakukannya, maka dapat dikatakan dia telah melaksanakan kontrak secara substansial. Sementara kunci yang tidak dipasang pada bangunan tersebut bukan berarti dia telah tidak melaksanakan kontrak secara “material” (material breach).
            Akan tetapi tidak terhadap semua kontrak dapat diterapkan doktrin pelaksanaan kontrak secara substantial. Untuk kontrak jual beli atau kontrak yang berhubungan dengan tanah misalnya, biasanya doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial tidak dapat diberlakukan.
            Untuk kontrak-kontrak yang tidak berlaku doktrin pemenuhan prestasi secara substansial, berlaku doktrin pelaksanaan prestasi secara penuh, atau sering disebut dengan istilah-istilah sebagai berikut:
1)      Strict performance rule; atau
2)      Full performance rule; atau
3)      Perfect tender rule.
            Jadi, berdasarkan doktrin pelaksanaan kontrak secara penuh ini, misalnya seorang penjual menyerahkan barang dengan tidak sesuai (dari segala aspek) dengan kontrak, maka pihak pembeli dapat menolak barang tersebut.
Pernyataan lalai sebagai syarat prosedural penentuan momen/saat terjadinya wanprestasi
            Pernyataan lalai sebagai syarat prosedural penentuan momen/saat terjadinya wanprestasi disimpulkan dari substansi Pasal 1243 KUH Perdata yang rumusan selengkapnya, sebagai berikut:[5]
            “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah milai diwajibkan apabila debitor setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetep melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya”.
            Merujuk pada Pasal 1243 KUH Perdata, dapat dipahami bahwa secara prosedural tetapi konkrit, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam konntak, dinyatakan lalai (in mora stelling, ingebreke stelling) untuk melaksanakan prestasinya, atau dengan kata lain wanprestasi ada jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan wanprestasi dalam kontrak tersebut tidak dapat membuktikan bahwa ia melakukan wanprestasi diluar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Jadi “pernyataan lalai” adalah suau rechtmidded atau upaya hykum kontrak (vide KUH Perdata) untuk sampai kepada tahap debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tersebut dinyatakan “wanprestasi”.
            Jadi dalam pelaksanaan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dalam kontrak, dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur agar debitor atau pihak lainnya yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut juga dengan somasi (sommatie). Sebaliknya, jika tenggang waktu pelaksanaan prestasi telah ditentukan, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa, dan pada saat kapan diharapkan pelaksanaan prestasi, agar berguna bagi kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi jika ingin menuntut debitor pihak yang mempunyai hak menerima prestasi jika ingin menuntut debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak di pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak benar-benar telah melakukan wenprestasi.
            Menurut Mariam Darus Badrulzaman, pernyataan lalai diperlukan dalam hal seseorang meminta ganti rugi atau meminta pemutus kontrak dengan membuktikan adanya wanprestasi. Menurut ilmu hukum perdata, jika kreditor ternyata menuntut pelaksanaan prestasi tersebut, maka pernyataan lalai tidak diperlukan, karena hak untuk mendapatkan pelaksanaan prestasi itu sudah ada dalam kontrak itu sendiri, sedangkan hak untuk meminta ganti rugi atau pemutusan, dasarnya ialah “ sudah dilakukannya wanprestasi oleh debitor”, sehingga pernyataan lalai sangat diperlukan. Namun, dalam praktik hukum di pengadilan (yurisprudensi) jika kreditor tidak menuntut pelaksaan prestasi, maka pernyataan lalai juga diperlukan, sebab untuk menjaga kemungkinan agar debitor tidak merugikan kreditor, misalnya debitor digugat di pengadilan, karena wanprestasi, sedangkan sebelumnya tidak ada pernyataan lalai itu, maka debitor dapat menyatakan bahwa sebelumnya terhadap debitor belum dilakukan pemberitahuan oleh kreditor. Jadi, pernyataan lalai prelu dilakukan dalam hal kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi menuntut ganti rugi dari debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak. Sebaliknya, pernyataan lalai tidak perlu dilakukan jika kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dari debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak hanya menuntut pelaksanaan prestasi yang dujanjikan dalam kontrak, tidak menuntut ganti rugi.
            Selanjutnya, pernyataan lalai perlu dilakukan untuk kontrak yang prestasinya dilaksanakan tetapi tidak tepat waktunya, karena dengan pernyataan lalai tersebut debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak masih diberikan kesempatan untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan  yang dijanjikan dalam kontrak. Jika debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tidak melaksanakan prestasinya (wanprestasi) atau tidak mengindahkan pernyataan lalai yang disampaikan kepadanya, maka dia dinyatakan tidak melaksanakan kontrak.
            Menurut Mariam Darus Badrulzaman, jika debitor ternyata keliru melakukan prestasinya dan kelirunya itu terjadi dengan itikad baik, maka pernyataan lalai perlu dilakukan, tetapi jika kelirunya itu terjadi dengan itikad buruk, maka pernyataan lalai tidak perlu dilakukan. Selain itu pernyataan lalai juga tidak perlu dilakukan jika peringatan (somasi) diadakan untuk jangka waktu tertentu, oleh karena dengan dilampauinya jangka waktu itu, berarti debitor telah tidak melaksanakan prestasi yang dijanjikan dalam kontrak.
            J.H Niewenhius menegaskan bahwa dalam keadaan tertentu untuk membuktikan wanprestasi debitor tidak diperlukan pernyataan lalai, misalnya:
a.       untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn);
b.      debitor menolak pemenuhan;
c.       debitor mengakui kelalaiannya;
d.      pemenuhan prestasi tidak mungkin (diluar overmacht)
e.       pemenuhan tidak lagi berizin (zinloos); dan
f.       debitor melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.
            Dalam praktik, menurut penjelasan Agus Yudha Hernoko, penyusunan kontrak seringkali dimasukkan klausul yang isinya sebagaimana tersebut diatas, misalnya ‘fatale termijrl,  sehingga dengan tidak dipenuhi satu diantara beberapa kewajiban debitor dalam kontrak, otomatis telah terjadi wanprestasi. Biasanya untuk menindaklanjuti kondisi ini dicantumkan juga klausa pemutusan kontrak sebagai salah satu bentuk sanksi yang memunkinkan ditempuh pihak kreditor.
            Bentuk pernyataan lalai yang disebut juga dengan somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yang berupa:
a.       surat perintah (behel of sortgelijke akte), yaitu suatu perintah lisan (exploit) yang disampaikan melalui juru sita pada pengadilan kepada debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, yang berwujud salinan surat peringatan. Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 3/1963 yang secara subtantif mengakui bahwa turunan surat gugatan kreditor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dapat dianggap pernyataan lalai;
b.      akta sejenis, yaitu akta otentik yang sejenis dengan perintah lisan (exploit) juru sita pada pengadilan itu yang antara lain dapat berupa surat, telex, telegram, facsimile, dan lain-lain;
c.       sesuai dengan kesepakatan yang dinyatakan secara tegas dalam kontrak itu sendiri.
            Struktur pernyataan lalai atau somasi terhadap debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasiterdiri dari :
a.    Identitas pemberi dann penerima pernyataan lalai atau somasi, mencakup:
1)   Nama lengkap
2)   Umur dan tempat tanggal lahir
3)   Pekerjaan
4)   Alamat atau domisili
b.    Posita/fundamentum petendi/ duduknya perkara (secara singkat) adalah dalil-dalil faktual yang bersifat konkrit yang menjelaskan hubungan hukum yang menjadi dasar dan alasan-alasan tuntutan.
c.    Tuntutan/petitum (sebagai isi pernyataan lalai atau somasi):
1)   Pegosongan (jika objek sengketa tanah atau rumah).
2)   Tenggang waktu
3)   Dan lain-lain, sesuai dengan prestasi yang dijanjikan oleh penerima pernyataan lalai atau somasi.
            Debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak kemudian diberikan pernyataan lalai oleh kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi, maka dia dapat mengajukan pembelaan, sebagai berikut:
a.    Mengajukan dalil-dalil yang membuktikan adanya keadaan memaksa yang mengakibatkan wanprestasi;
b.    Mengajukan dalil-dalil yang membuktikan bahwa kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi ternyata juga telah lalai;
c.    Mengajukan dalil-dalil bahwa kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi, telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi;
d.   Mengajukan dalil-dalil bahwa kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi juga menjadi debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak bagi dirinya, dengan kata lain telah menjadi kompensasi atau perjumpaan utang.
Memperbaiki kelalaian
            Dalam hal seorang debitur telah disomir dan dia telah melewatkan tenggang waktu yang diberikan kepadanya, tanpa memberikan prestasi yang menjadi kewajiban perikatannya, maka ia ada dalam keadaan lalai. Dalam hal demikian, apakah ia selanjutnya sudah tidak lagi wenang untuk memperbaiki kelalaiannya. Dalam arti untuk selanjutnya prestasi apakah tetap dianggap tidak sah? Pada prinsipnya debitur sudah tidak wenang lagi, kecuali kreditur masih bersedia untuk menerima prestasi debitur.[6]
Penyelesaian wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian sewa menyewa mobil
            Untuk penyelesaian atau solusi yang ditempuh perusahaan retal mobil dan pihak penyewa atas kasus-kasus wanprestasi yang tejadi adalah sebagai berikut:
1.    Tidak memenuhi prestasi sama sekali
            Untuk kategori wanprestasi yang pertama yaitu yang pernah dilakukan oleh pihak perusahaan kepada penyewa yang mana pihak perusahaan tidak dapat menyediakan kendaraan sewa pada waktu yang dijanjikannya. Melalui perjanjian secara lepas kunci , perjanjian yang dilakukan antara perusahaan rental dengan penyewa ini melalui system bokiing atau inden yang mana pihak penyewa tidak datang secara langsung ke tempat perusahaan rental yaitu hanya melalui telefon dan perjanjian ini dibuat oleh para pihak mengikat untuk mematuhinya.
            Pihak perusahaan rental telah melakukan Asas Iktikad baik yang mana mau bertanggung jawab atas keterlambatan mobil sewanya tersebut dan pihak penyewa hanya dikenakan separo atau setengah dari kesepakatan harga awal perjanjian. Wanprestasi tersebut sebenarnya juga merugikan pihak perusahaan bila penyewa merasa dikecewakan mengingat dalam bidang usaha ini pelayan/service merupakan hal penting bagi kelangsungan dan kesuksesan suatu usaha. Wanprestasi tersebut memberikan citra yang kurang baik bagi perusahaan penyewa yang berkeinginan memperoleh jumlah pelanggan sebanyak-banyaknya.
2.    Melaksnakan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
            Dengan adanya kasus yang pernah terjadi di perusahaan rental mobil, adalah antara penyewa dan perusahaan rental, dalam hal ini pihak perusahaan rental merasa sangat dirugikan dengan terjadinya keterlambatan ini pihak penyewa, akibat dari terjadinya keterlambatan ini pihak perusahaan sewa mobil berhak menuntut ganti kerugian atau denda kepada penyewa tang mana denda di bebankan sejumlah 10% (sepuluh) perjamnya dari total harga sewa yang telah disepakati sebelumnya.
3.    Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
            Pihak perusahaan rental dalam penyelesaian masalah dalam kasus wanprestasi tidak mampu memenuhi pembayaran pada waktu yang dijanjikan pihak perusahaan rental pertama melakukan secara musyawarah dengan pihak penyewa untuk mendapatkan kesepakatan yang tidak merugikan untuk kedua belah pihak apabila tidak tercapainya penyelesaian secara musyawarah pihak perusahan rental akan menyelesaikannya dengan melalui jalur hukum. Akan tetapi dalam kasus ini penyelesaian wanprestasi atas tidak mampu memenuhi pembayaran pada waktu yang dijanjikan oleh penyewa terhadap pihak perusahaan rental melaui musyawarah telah memperoleh kesepakatan yang tidak merugikan bagi kedua belah pihak, yaitu pihak penyewa bersedia membayar sisa atas sewa yang dilakukannya dengan tenggang waktu yang sudah di sepakati dengan pihak perusahaan rental, hal inidikarenakan guna menjaga citra baik untuk rental dan mempertahankan langganan-langganan yang sudah terjalin baik dengan pihak perusahaan Rental.        Menurut hasil analisis yang di dapat disimpulkan bahwa penyelesaian yang dilakukan oleh pihak perusahaan Rental dengan penyewa dilakukan bersama sama atau musyawarah guna mencapai suatu kesepakatan bersama guna tidak merugikan salah satu pihak karena menurut perusahaan Rental pemecahan masalah apabila dilakukan secara bersamasama dengan tidak merugikan salah satu pihak akan lebih baik guna untuk menjaga nama baik rental dengan tetap mempertahankan konsumennya agar tetap menjadi konsumen tetap dalam melakukan sewa untuk selanjutnya.         
Simpulan
            Dapat dikatakan, apabila tejadi keadaan memaksa (force majeure) yang diluar kemampuan penyewa, penyewa tidak bersalah. Penyewa kendaraan bermotor dapat dituntut untuk memenuhi seluruh kewajibannya bila dilihat karena kesalahan penyewa, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian. Pihak yang menyewakan Dapat menuntut pemenuhan perjanjian/ prestasi disertai dengan ganti kerugian, menuntut ganti kerugian saja, menuntut pembatalan perjanjian lewat hakim dan menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.   
            Penyelesaian yang dialkukan dalam perjanjian sewa menyewa pada Perusahaan Rental mobil yaitu pelaksanaan penyelesaian yang pernah terjadi di dalam pelaksanaan perjanjian sewa menyewa di Perusahaan Rental mobil dengan penyewa dalam hal ini penyewa yang dilakukan dengan melakukan pemesanan terlebih dahulu “booking” yang mana pihak Perusahaan Rental mobil tidak dapat menepatinya, wanprestasi ini diselesaikan dengan cara pihak Perusahaan Rental mobil mengupayakan kendaraan pengganti terlebih dahulu atas kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak terlebih dahulu guna kebaikan bersama.






DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 2001. Hukum Kontrak (dari sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku     Kedua. Bandung. Citra Aditya Bakti.
Muhammad, Abdul kadir. 1992. Hukum Perikatan. Bandung. Citra Adhitya Bakti.
Salim. 2003. Teori dan Teknik Penyusnan Kontrak. Jakarta. Sinar Grafika.
Subekti. 1984. Hukum Perjanjian. Jakarta. PT Intermasa.
Syaifuddin, Muhammad. 2012. Hukum Kontrak. Bandung.  Mandar Maju.
J. Satrio.1999.  Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya. Bandung. Penerbit   Alumni.


[1] Abdul kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Adhitya Bakti, Bandung, 1992, hlm.27
[2] Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta,1984,hlm 45
[3] Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2001, hlm. 87.
[4][4] Salim, Teori dan Teknik Penyusnan Kontrak, Sinar Grafika: Jakarta, 2003,hlm.99.
[5] Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Mandar Maju: Bandung, 2012, hlm.339.
[6] J. Satrio, Hukum Perikatan-perikatan Pada Umumnya, Penerbit Alumni: Bandung, 1999, hlm.139.

PERMASALAHAN PENERAPAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN

PERMASALAHAN PENERAPAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) Oleh: Abdul Hafid Firdau...