PERMASALAHAN PENERAPAN HAK ANGKET
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) TERHADAP KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
Oleh:
Abdul Hafid Firdaus
Email:
hafidzfirdaus00@gmail.com
Hukum
Bisnis Syariah
Fakultas
Syariah
Universitas
Islam Negeri Malang
Abstrak : Permasalahan penerapan hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap komisi pemberantasan korupsi (KPK), kewenangan
dalam Hak Angket DPR tidak dapat terlepas terhadap keinginan DPR
dalam menjalankan tugas pengawawasan yang lebih
efektiflagi. akantetapi,
keberadaan Hak angket yang dimiliki DPR selama
ini masih berada dalam ketidakjelasa. Tentunya memiliki
efek negatif terhadap keberadaan hak angket tersebut, penulisan artikel ini
termotivasi dari adanya dampak negatif atau lebih tepatnya adanya problematika
yang timbul dari hak angket yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Keywords : DPR, KPK, Hak Angket.
Pendahuluan
Indonesia
adalah negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang
dibatasai oleh konstitusi.[1] Oleh
karena itu menurut Montesquieu dengan teori trias politica yaitu legislatif,
eksekutif dan yudikatif, sehingga tidak ada lagi yang dominan dalam menjalankan
pemerintahan, seperti eksekutif dalam menjalankan kebijakannya selalu dipantau
oleh legislatif atau di Indonesia disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Hak
angket adalah salah satu hak yang dimiliki DPR. Hak ini melekat maupun
dilekatkan kepada fungsi atau jabatan DPR. Karena itu, hak angket diletakkan
sebagai hak institusi atau hak kelembagaan. Dengan demikian, hak angket adalah
perangkat untuk merealisasikan fungsi DPR. Selain hak kelembagaan, hak
perseorangan (anggota) juga menjadi alat untuk merealisasikan melaksanakan
fungsi DPR seperti hak mengajukan usul rancangan undang-undang, hak mengajukan
pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat. Hak perseorangan lainnya, yaitu
hak untuk memilih dan dipilih, hak membela diri, hak imunitas, hak protokoler,
dan hak keuangan/administratif tidak bersangkutan dengan perwujudan fungsi DPR,
melainkan bertalian dengan kedudukan sebagai anggota DPR sehingga lebih bertalian
kapasitas pribadi.[2]
Pengawasan
(controlling) adalah kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin agar
penyelenggaraan suatu Negara yang disesuaikan
dengan suatu rencana. Apabila dikaitkan dengan hukum dalam pemerintahan, pengawasan dapat berarti
kegiatan yang ditujukan untuk
menjamin suatu sikap pemerintah supaya tetap berjalan dengan hukum yang telah berlaku.
Dengan melewati suatu pelaksanaan fungsi terhadap pengawasan,
dimana lembaga ini bertugas melindungi kepentingan rakyat, sebab dengan melalui
penggunaan suatu kekuasaan yang berlandaskan fungsi ini, DPR dapat mengoreksi
semua kegiatan lembaga kenegaraan lainnya melalui pelaksanaan berbagai hak DPR.
Dengan demikian tindakan yang dapat mengabaikan kepentingan anggota masyarakat
dapat diperbaiki. Tolak ukur suatu kontrol politik (pengawasan) berupa nilai
politik yang dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan dalam kebijakan
atau undang-undang. Yang maana fungsinya adalah untuk meluruskan suatu kebijakan
maupun suatu pelaksanaan kebijakan menyimpang dan mereparasi kekeliruan
sehingga kebijakan maupun pelaksanaannya searah dengan hal tersebut. Fungsi
kontrol merupakan konsekuensi logis dalam sistem demokrasi dalam memperbaiki
dirinya.[3]
Mengenai fungsi tersebut, berfungsi menjalankan bersama-sama yang terdapat
sistem checks and balances.
Hak-Hak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak, yaitu:[4]
1.
Hak Interpelasi, merupakan hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk memohon
kejelasan kepada Pemerintahan terhadap suatu kebijakan Pemerintahan yang urgen
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara.[5]
2. Hak Angket, adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat
dalam pelaksanaan tugas penyelidikan terhadap penerapan suatu undang-undang maupun
kepada kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal-hal penting, strategis,
dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[6]
3. Hak Menyatakan Pendapat, yaitu hak Dewan Perwakilan
Rakyat dalam mempersatukan pendapat terhadap:[7]
a. Suatu kebijakan pemerintah atau terhadap
kejadian luar biasa yang terjadi di Indonesia maupun lingkup internasional;
b. Tindakan lanjut suatu pelaksanaan hak
interpelasi dan hak angket; atau
c. Suatu dugaan bahwa Presiden maupun Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak
pidana berat, korupsi, penyuapan, lainnya, atupun perbuatan tercela, dan/atau
Presiden maupun Wakil Presiden tidak dapat lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden maupun Wakil Presiden.
Hak Angket DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pelaksanaan wewenang
dan tugasnya termasuk tugas pengawasan, berhak memberikan rekomendasi kepada
pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk
melalui proses rapat kerja, melakukan rapat denga pendapat, melakukan rapat
dengan pendapat umum, melakukan rapat panitia khusus, melakukan rapat panitia
kerja, melakukan rapat panitia tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk
oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara.[8] Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah,
badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR
tersebut.[9]
Hak angket itu diajukan oleh minimal 25 orang anggota DPR
dan melebihi satu fraksi.[10] Proses
pengusulan hak angket yang disertai dengan suatu dokumen yang termuat paling
sedikit:[11]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menjadi Objek Hak Angket.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 30/2002”) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Perpu 1/2015”) Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai
tugas:[12]
a. Koordinasi dengan instansi yang bewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang bewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan proses penyelidikan, atau penyidikan,
maupun penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi;
e. Melakukan suatu proses monitoring kepada
penyelenggara pemerintahan didalam negara.
Sedangkan hak angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan
dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden,
Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau
pempinan lembaga pemerintah nonkementerian.[13]
Jika melihat dari penjelasan banyak di atas, KPK bukanlah
penyelenggara pemerintahan maupun bertugas membuat suatu kebijakan pemerintah,
melainkan merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang salah satu
tugasnya adalah melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sedangkan hak angket sendiri hak untuk melakukan
penyelidikkan terhadapi pelaksanaan suatu undang-undang maupun kebijakan yang
dijalankan oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI,
Kapolri, Jaksa Agung, atau pempinan lembaga pemerintah nonkementerian. Selain
itu juga, yang dipanggil oleh panitia angket DPR untuk menjalankan hak tersebut
adalah warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia untuk dimintai keterangan. Jika ditarik kesimpulan dari penjelasan
tersebut, maka KPK tidak termasuk dari
objek hak angket DPR.
Kesimpulan
1. Pasal 79 UU No. 17 Tahun 2014 menjelaskan
bahwa salah satu hak DPR adalah merupakan Hak angket. Namun di dalam kasus
antara DPR dan KPK, hak angket tidak bisa dilakukan oleh pihak DPR kepada KPK.
Karena hak angket berlaku hanya untuk pemerintah dan yang dimaksud selalu
eksekutif.
2. KPK memiliki hubungan kedudukan yang khusus
dengan kekuasaan yudikatif, Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang memiliki tugas maupun wewenang dalam
memeriksa maupun memutus tindak pidana korupsi dimana penuntutannya dilakukan
oleh Komisi Pemilihan Bidikmisi.
3. Proses pelaksanaan Hak Angket yang transparan
akan dikoreksi oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR, semua elemen masyarakat akan
kembali pada kesibukannya masing-masing. Begitu juga dengan DPR. Terhadap aktivitas parlemen, tentu saja
perhatian publik masih tertuju pada pelaksanaan Hak Angket DPR atas KPK.
Referensi
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu HukumTata Negara, cet II, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010).
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, cet. II,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 82.Pasal 79 ayat (4) UU No. 17 Tahun
2014.
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002
Penjelasan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MD3.
Undang-Undang No. 42 tahun 2014
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar