Rabu, 07 Maret 2018

Sejarah Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Islam dan di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan sesuatu pada zaman sekarang takkan lepas dari sejarah, baik bidang hukum ataupun yang lainnya, hal ini mengingatkan kita betapa besarnya fungsi sejarah dalam kehidupan kita, termasuk sejarah mengenai penyelesaian sengketa, sangat menarik jika kita telaah mengenai sejarah dari alternatif penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa sendiri adalah suatu kegiatan untuk menyatukan persepsi para pihak yang bersengketa ataupun mendamaikan keduanya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Kita ketahui bersama bahwa sengketa atau konflik didalam kehidupan kita pastilah terjadi, hal ini adalah suatu kodtrat  manusia, hal ini dikarenakan setiap manusia memiliki karakteristik atau pemikiran yang berbeda, dan berangkat dari itu pasti akan timbul konflik antara sesamanya. Hal ini yang menjadi landasan aanya alternatif penyelesaian sengketa yang saat ini berkembang di masyarakat. Seiring berkembangnya Alternatif penyelesaian sengketa ini, banyak tidak mengetahui bagaimana sejarah dari alternatif penyelesaian sengketa sendiri, baik itu sejarah penyelesaian sengketa dalam islam yakni pada masa rasulullah serta pada masa khulafaurrasyidin dan sejarah alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia sendiri.
Berdasarkan latarbelakang ini kami para penulis ingin membahas mengenai sejarah alternatif penyelesaian sengketa, agar kita tidak lupa bagaimana sejarah dar alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas dapat di simpulakan beberapa rumusan masalah yakni :
1.      Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa Rasulullah ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa khulafaurrasyidin?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di indonesia
4.      Apa saja macam-macam dari Alternatif penyelesaian sengketa?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa Rasulullah.
2.      Untuk mengetahui Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa khulafaurrasyidin.
3.      Untuk mengetahui Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di indonesia.
4.      Untuk mengetahui Apa saja macam-macam dari Alternatif penyelesaian sengketa.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penyelesaian Sengketa pada Masa Rasulullah
Tahkim atau mediasi yakni berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setujui serta rela menerima keputusanya untuk menyelesaikan persengketaan mereka, berlindungnya orang yang bersengketa pada orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan atau menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka.21 Sedangkan pengertian Tahkim dalam terminologi fiqih ialah adanya dua orang atau  lebih  yang  meminta kepada orang lain agar diputuskan perselisihan yang terjadi diantara mereka dengan hukum Syar’i. 22 yang sekarang kita sebut dengan istilah mediasi.[1]
Lembaga tahkim telah dikenal sejak jauh sebelum masa Islam. Orang-orang Nasrani apabila mengalami perselisihan di antara mereka mengajukan perselisihan tersebut kepada Paus untuk diselesaikan secara damai.
Lembaga tahkim juga dilakukan oleh orang-orang arab sebelum datangnya agama Islam. Pertikaian yang terjadi di antara mereka biasanya diselesaikan menggunakan lembaga tahkim. Pada umumnya apabila terjadi perselisihan antar anggota suku, maka kepala suku yang bersangkutan yang mereka pilih dan mereka angkat sebagai hakamnya. Namun, jika perselisihan terjadi antar suku  maka  kepala  suku  lain  yang  tidak  terlibat  dalam perselisihan yang mereka minta untuk menjadi hakam.
Nabi  Muhammad dalam perjalanan sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat ketika itu. Prinsip resolusi konflik yang dimiliki oleh Al-Qur’an diwujudkan oleh nabi Muhammad dalam berbagai bentukberupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi, rekonsliasi,mediasi, arbitrase dan penyelesaian sengketamelalui lembaga peradilan (ligitasi). Prinsip resolusi konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan dalam sejumlah ayatAl-Qur’an dan hadis Nabi.[2]
Dalam surat Al-anbiya’ ayat 70 Allah menegaskan yang artinya:
“Tidak kami utus engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.”
Ayat ini mengungkapkan bahwa kehadiran nabi Muhammad melalui risalah Islam bertujuan menciptaan damai, menyelesaikan konflik/ sengketadan menjadikan manusia  sebagai makhluk yang senantiasa membangun dan menciptakan damai (peace maker).  Oleh karena tu dalam menyebarkan ajaran Islam yang damai, Al-Qur’an menggunakan pendekatan hikmah (bijaksana), mau’izah hasanah (persuasive), dan argumentasi yang santun (An-nahl: 125). Ketiga penndekatan ini sesuai dengan esensi ajaran agama yang enekankan penyerahan diri secara tulus dan tanpa paksaan. Muslim adalah orang yang tulus dan selalu menciptakan damai dalam kehidupannya.[3]
Proses penyelesaian sengketa atau konflik yang pernah dilakukan oleh Rasulullah baik setelah maupun sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul dapat ditemukan dalam peristiwa peletakan kembali Hajar aswad dan perjanjian Hudaibiah.
1.        Peristiwa peletakan kembali Harar Aswad
Penyelesaian sengketa dalam peletakan kembali Hajar aswad melahirkan win-win solution antar suku dan tidak ada suku yang merasa menang atau kalah. Nilai lain yang dapat dipetik dalam peristiwa peletakan kebali hajar aswad adalah nilai persamaan dan penghormatan kemanusiaan seluruh kelompok. Selain itu nilai positif lain ialah bentuk komitmen proaktif dan kreatif dalam berpikir dari para pihak yang difasilitasi oleh Nabi Muhammad. Para pihak bertikai harus menunjukkan keinginan untuk menyelesaikan sengketa dengan bersedia mendengar pandangan-pandangan kelompok lain.
2.         Perjanjian Hudaibiah
Dalam perjanjian Hudaibiah ada beberapa poin penting yang berhasil dilakukan oleh rasul diantaranya adalah:
a.         Rasul berhasil mengajak kaum Quraisy kemeja perundingan dan menghasilkan kesepakatan. Ini merupakan kemenangan yang luar biasa bagi kaum muslimin mengingat bahwa orang Mekkah yang selama ini menghina dan menyakiti kaum muslimin mulai duduk dengan Nabi dalam satu meja perundingan.
b.         Adapun nilai yang dapat dipetik dari perjanjian Hudaibiah berdasarkan prinsip mediasi antara lain sikap negosiasi, sikap kompromi take and give,  memosisikan sama para pihak dan menghargai kesepakatan.
Pada masa Rasulullah juga juga sudah penyelesaian perselisihan atau sengketa seperti itu. Ada beberapa peristiwa di masa Rasulullah dan para sahabat yang diselesaikan melalui lembaga tahkim. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain yaitu:
1.                 Peristiwa tahkim pada waktu pelaksanaan renovasi Ka’bah. Ketika itu terjadi perselisihan antara masyarakat Arab untuk meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempat semula. Mereka semua merasa dirinya berhak dan merupakan kehormatan bagi mereka untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut. Pada mulanya mereka sepakat bahwa siapa yang paling cepat bangun pada keesokan harinya, maka dialah yang berhak mengangkat Hajar Aswad dan meletakkan kembali ke tempat semula. Ternyata mereka serentak bangun pagi itu, sehingga tdak ada seorang pun diantara mereka yang lebih berhak atas yang lainnya. Lalu mereka meminta kepada Nabi Muhammad SAW, yang pada waktu itu belum diangkat menjadi rasul, untuk memutuskan persoalan mereka. Dengan bijaksana Nabi Muhammad SAW membentangkan selendanganya dan meletakkan Hajar Aswad di atasnya, lalu meminta wakil dari masing- masing suku untuk mengankat pinggir selendang tersebut. Kebijakan Nabi Muhammad SAW tersebut disambut dan diterima baik oleh masing-masing pihak yang ikut berselisih pendapat pada waktu itu.
2.                 Perselisihan yang terjadi di antara Alqamah dan Amr bin Tufail yang memperebutkan posisi jabatan sebagai kepala suku lain untuk diangkat sebagai hakam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 620.[4]

B.     Penyelesaian Sengketa pada Masa Khulafa ar-Rasyidin
1.      Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar Ash Shiddiq lahir pada tahun 568 M atau 55 tahun sebelum hijrah. Dia merupakan khalifah pertam dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun). Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamini. Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hokum. Sehingga penyelesaian sengketa pun dilakukan dengan tetap berpacu kepada al-quran dan sunnah.
2.      Kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Khalifah Abu Bakar adalah khalifah yang sangat berjasa diawal masa khulafaur rasyidin, meski banyak sekali cobaan dan hambatan yang datang. Masa Abu Bakar di mulai dengan munculnya permasalahan tentang siapa pemimpin yang akan memimpin umat Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW. Pada masaini pun penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara mengambil jalan tengah diantara keduanya ataupun bermusyawarah, untuk mencpai suatu kesepakatan diantara pihak-pihak yang bersengketa didalam sebuah permasalahan yang terjadi.
3.      Khalifah Usman Bin Affan
Umar bin Khatthab (583-644) memiliki nama lengkap Umar bin Khathab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin razail bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay, adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Pada masa ini penyelesaian sengketa diselesaikan dengen etap mengacu kepada asas keadilan.
4.      Kekhalifahan Aloi Bi Abi Thalib
Masa kekhalifahan Umar bin Khatthab itu sepuluh tahun enam bulan, yaitu dari tahun 13 H/634 M sampai dengan tahun 23 H/644 M, dan wafat karena dibunuh diusia 63 tahun. Tragedi itu merupakan pembunuhan politik yang pertama didalam sejarah Islam. Seperti halnya masalah tahkim, pada masa ini penyelesaian sengketa dilakukan dengan car bermusyawarah.

C.    Sejarah dan Perkembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia
Penyelesaian sengketa alternatif sudah lama dikembangkan, baik di Barat seperti Amerika Serikat dan Norwegia22 maupun di Timur, sperti Jepang dan Cina, baik karena alasan-alasan praktis maupun kebudayaan. Penyelesaian sengketa melalui pegadilan di Barat dan di Timur mengandung kelemahan, yaitu memakan waktu yang lama dari pengadilan tingkat pertama sampai tingkat banding atau kasasi, memakan biaya yang tinggi dan merenggangkan hubungan pihak-pihak yang bersengketa. Di negara-negara berkembang, pengadilan adakalanya, dianggap perpanjangan tangan kekuaasaan, bahkan di beberapa negara pengadilan dianggap tidak bersih, sehingga putusan-putusannya dianggap telah memihak yang mendatangkan ketidakadilan.
Sejarah perkembangan ADR pertama kali di Amerika Serikat, sudah mulai mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sejak tahun 1960-an. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan masyarakat akademis mulai merasa keprihatinan serius mengenai efek negatif yang semakin meningkat dari litigasi.. Namun, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak tersebut melalui sistem hukum menjadi beban rumit. Oleh karena itu orang mulai mencari alternaif terhadap adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti court coungestion, biaya hukum yang tinggi dan waktu menunggu di pengadilan telah menjadi cara hidup bagi orang Amerika yang mengupayakan sistem judisial baik secara sukarela (voluntarily) maupun tidak sukarela (involuntarily).
Di Amerika Serikat, alternatif penyelesaian sengketa merupakan bidang yang paling berkembang, menerapkan berbagai macam proses yang dirancang untuk mendorong pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa melalui alternatif yang tersedia dan tidak hanya menyerahkannya kepada ajudikasi publik. Kebanyakan proses atau upaya ini diciptakan untuk mengurangi beban perkara pengadilan, namun para pihak yang berperkara kadang kala juga mencari cara yang menguntungkannya sehingga dapat menghindari hasil pemeriksaan yang merugikan.
Sebagaimana diketahui penyelesaian masalah melalui lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) secara tak langsung sudah berkembang di Indonesia, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Pancasila sebagai dasar filosofi kehidupan masyarakat Indonesia telah mengisyaratkan bahwa asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat lebih diutamakan dan demikian juga dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu sumber hukum tertulis lain yang mengatur Alternaif Penyelesaian Sengketa .[5]
Bahwa di Indonesia, sebelum Perang Dunia II arbitrase sudah dikenal dan dijalankan dalam praktek dan terdapat pengaturannya dalam Reglement op de Rechtverordering tentang hal wasit, yaitu Pasal 631 s/d Pasal 650 RV. Mengapa soal perwasitan atau arbitrase pengaturannya dalam RV dan tidak dalam HIR dikarenakan di zaman kolonial Belanda golongan masyarakat yang menggunakan lembaga arbitrase itu adalah golongan yang tunduk pada hukum Eropa atau Hukum Barat, yaitu golongan yang banyak menjalankan perusahaan dan perdagangan (Eropa dan Cina). Sesuai dengan asas konkordansi pengaturan arbitrase merupakan bagian dari hukum formal yang terdapat dalam Pasal 377 HIR/705 Rbg yang mengatakan “apabila orang Indonesia dan Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah (arbitrase), maka mereka wajib menuruti peraturan Pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.[6]
Pada dasarnya keberadaan Alternatif Penyelesaian sengketa telah diakui sejak tahun 1970 yaitu dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang ini menyatakan, “ Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan”, selain itu Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang ini juga menyatakan “bahwa, “ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”.
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Hal ini memperlihatkan bahwa undang-undang tersebut juga menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif. Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur mengenai pilihan dalam penyelesaian sengketa melalui musyawarah para pihak yang bersengketa, di bawah titel “alternatif penyelesaian sengketa”, yang merupakan terjemahan dari Alternative dispute Resolution (ADR). Pengertian Alternative dispute Resolution (ADR) di sini, adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negotiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Dengan demikian jelaslah yang dimaksud Alternative dispute Resolution (ADR) dalam perspektif Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 itu suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.
 Dalam masyarakat Indonesia alternatif penyelesaian sengketa bukan merupakan suatu fenomena asing, karena konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari penyelesaian sengketa alternatif. Pengembangan alternatif penyelesaian sengketa sebagai model penyelesaian sengketa di Indonesia dan di Amerika mempunyai latar belakang historis yang berbeda. Alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah merupakan tradisi dari masyarakat Indonesia, sedangkan alternatif penyelesaian sengketa alternatif penyelesian sengketa yang sengaja didesain untuk menghindarkan penyelesaian melalui pengadilan.
Dalam Hukum Adat di Indonesia telah biasa dilakukan oleh warga pedesaan dalam menyelesaikan suatu perselisihan. Hanya saja istilah yang digunakan berbeda. Istilah yang dikenal dalam hukum adat tersebut, seperti musyawarah untuk mufakat, yang pada hakekatnya sama dengan melakukan negosiasi, mediasi dan Arbitrase. Misalnya kepala Desa atau Pemuka Adat setempat yang diminta atau ditugaskan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat, baik perselisihan di bidang pertanahan, hutang piutang, perkawinan, warisan dan sebagainya. Penyelesaian masalah tersebut dilakukan dengan musyawarah yang ditengahi oleh Kepala Desa atau Pemuka Adat. Penyelesaian sengketa tersebut didasari oleh hukum adat setempat dan itikad baik para pihak dan penengah.[7]

D.    Macam-Macam Alternatif Penyelesaian Sengketa
Secara garis besar bentuk penyelesaian sengketa dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1.    Bentuk penyelesaian secara litigasi (peradilan);
2.    Bentuk penyelesaian sengketa secara non litigasi (alternatif dispute resolution).
Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa dan konflik.cara yang dipakai pada suatu sengketa tentu jelas memiliki konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka diperlukan untuk menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelasaian sengketa yang paling tepat bagi mereka. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memilih mekanisme yang paling tepat yaitu bagaimana bentuk persoalan-persoalan para pihak dan apa yang diharapkan para pihak untuk dicapai baik dalam penyelasaian sengketa tertentu ataupun sengketa yang lebih bersifat umum serta biaya-biaya yang dapat atau sedianya ditanggung oleh para pihak.[8]
Beraneka ragam cara dan kreativitas manusia dalam menyelesaikan masalahnya, ada yang menggunkan metode secara langsung face to face dengan pihak lawan sengketanya atau yang biasa disebut dengan metode penyelesaian sengketa dwipartite dan ada pula yang menggunakan jasa/perantaraan orang lain atau suatu lembaga tertentu untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapinya atau yang biasa disebut dengan metode penyelesaian sengketa tripartite. Setiap cara dan bentuk penyelesaian yang dipilih itu pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama, yaitu mencari solusi dan penyelesaian untuk menghentikan sengketa yang terjadi. Dalam pola penyelesaian sengketa mengandung dua prinsip pembenaran yaitu:
a.    Pola pembenaran pribadi yang kemudian disebut sebagai prinsip penyelesaian dengan cara memutus (ajudikasi), dan
b.    Pola pembenaran bersama yang kemudian disebut sebagai prinsip penyelesaian perdamaian (non ajudikasi).
Bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi saat ini mulai dikembangkan sebagai bentuk alternatif yang lebih dianjurkan bagi mereka yang sedang terlibat sengketa.
Joni Emirzon menyatakan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang paling umum saat ini dilakukan adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi, abitrase. Keempat bentuk penyelesaian sengketa tersebut dilakukan di luar pengadilan, yang memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung yang mana yang lebih disukai atau dianggap cocok oleh para pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi rujukan dari penyelesaian sengketa, Beberapa bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam undang-undang tersebut antara lain:
1.    Arbitrase
        Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam beberapa hal arbitrase mirip dengan sistem penyelesaian sengketa litigasi karena hasil akhirnya sama-sama berbentuk putusan yang berisi pernyataan menang dan kalah. Salah satu yang membedakan arbitrase dengan persidangan di pengadilan adalah pada penentuan arbiter, dimana para pihak bisa memilih sendiri atbiter (wasit) bagi penyelesaian sengketanya berdasarkan kesepakatan para pihak, sehingga arbiter yang menangani perkaranya dimungkinkan adalah orang yang ahli atau memiliki pengetahuan secara khusus tentang sengketa yang dihadapi. Secara umum arbitrase tidak jauh berbeda dengan proses peradilan karena prosedurnya diatur oleh hukum acara yang serba formal.

2.    Konsultasi,
        Konsultasi adalah tidakan yang bersifat personal antara satu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada satu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan oleh konsultan. Dalam hal ini konsultan hanya memberikan pendapatnya (secara hukum) sebagaimana diminta oleh kliennya yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.[9]

3.    Negosiasi,
        Negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan variasinya, serta halus dan bernuansa, sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang. Negosiasi adalah metode penyelesaian secara langsung tanpa menggunakan perantara ataupun jasa pihak ketiga, sehingga lazim disebut sebagai metode penyelesaian dua pihak (dwipartite).[10]
        Dari beberapa bentuk penyelesaian sengketa yang ada, negosiasi merupakan bentuk penyelesaian yang paling simpel karena tidak perlu melibatkan orang lain atau pihak ketiga. Semua tahapan dalam negosiasi ditentukan berdasarkan pola komunikasi yang dimiliki sendiri, mulai dari proses pertemuan sampai kepada penentuan nilai-nilai penawaran dilakukan berdasarkan kehendak dan inisiatif pribadi. Namun walaupun demikian metode penyelesaian secara negosiasi juga memiliki kelemahan, yaitu jika para pihak tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik, maka nyaris metode ini tidak mungkin bisa berjalan dengan sempurna.

4.    Mediasi,
        Mediasi adalah metode penyelesaian yang termasuk dalam kategori tripartite karena melibatkan bantuan atau jasa pihak ketiga. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.[11]
        Keterlibatan mediator di dalam sengketa yang terjadi hanya sebagai pemacu para pihak untuk menuju penyelesaian secara damai, sehingga mediator pada umumnya tidak turut campur dalam menentukan isi kesepakatan damai, kecuali memang betul-betul dibutuhkan. Hal ini didasarkan pada prinsip proses mediasi, bahwa materi kesepakatan damai merupakan hak mutlak para pihak untuk menentukannya tanpa ada intervensi dari pihak mediator.
5.    Konsiliasi
        Konsiliasi sebagai proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak dengan tugas sebagai fasilitator untuk menemukan para pihak agar dapat dilakukan penyelesaian sengketa. Dalam praktiknya sulit dibedakan antara konsiliasi dengan mediasi, karena memiliki karakteristik yang hampir sama, bahkan dalam beberapa hal memang tidak bisa dibedakan di antara keduanya. Perbedaan antara konsiliasi dengan mediasi adalah pada peran pihak ketiga (konsiliator) di dalam proses penyelesaian sengketa. Seorang konsiliator lebih bersifat aktif dibandingkan dengan mediator, walaupun sebenarnya dalam beberapa hal sulit untuk membedakan secaraa tegas antara mediator dengan konsiliator.

6.    Penilaian Ahli
        Penilaian ahli atau biasa juga disebut pendapat ahli adalah suatu keterangan yang dimintakan oleh para pihak yang sedang bersengketa kepada seorang ahli tertentu yang dianggap lebih memahami tentang suatu materi sengketa yang terjadi. Permintaan pendapat ahli disebabkan karena adanya perbedaan pendapat di antara kedua belah pihak. Pendapat ahli dimintakan, baik terhadap persoalan pokok sengketa maupun di luar pokok sengketa jika itu memang diperlukan, atau dengan kata lain pendapat ahli pada umumnya bertujuan untuk memperjelas duduk persoalan di antara yang dipertentangkan oleh para pihak



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Nabi  Muhammad dalam perjalanan sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat ketika itu. Prinsip resolusi konflik yang dimiliki oleh Al-Qur’an diwujudkan oleh nabi Muhammad dalam berbagai bentukberupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi, rekonsliasi,mediasi, arbitrase dan penyelesaian sengketamelalui lembaga peradilan (ligitasi). Prinsip resolusi konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan dalam sejumlah ayatAl-Qur’an dan hadis Nabi, dan pada masa khulafaurrasyidin juga telah ada alternatif penyelsaian sengketa. Diindonesia sendiri alternatif penyelesaian sengketa bukan merupakan suatu fenomena asing, karena konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari penyelesaian sengketa alternatif. Adapun macam-macam dari alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri ada enam macam yakni; Arbitrase, Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Penilaian Ahli.
B.     Saran
            Alhamdulillah kami telah menyelesaikan makalah ini dengan tempo yang sangat singkat sekali, oleh karena itu kami sadar makalah ini banyak memiliki kekurangan, dikarenakan waktu kami yang terbatas dan sangat singkat. Kami berharap bagi para pembaca untuk memberikan saran kepada kami, baik mengenai isi dari makalah kami ataupun susunan dari makalah kami.


Daftar Pustaka
D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, (Bandung: Alfabeta, 2011).
Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003).
Henny Mono, Alternatif Penyelesaian Sengketadan Mediasi, (Malang: Bayumedia, 2014).
Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain.
R.Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1980),
Joni emerzon, Hukum Bisnis Indonesia, (Palembang: Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2002).
Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: pustaka Al husna, 1983).



[1] Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 1750.
[2] Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain.hlm 23
[4] Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: pustaka Al husna, 1983) hal: 226
[5] Joni emerzon, Hukum Bisnis Indonesia, (Palembang: Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2002), hlm. 496-497.
[6] R.Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1980), hlm.29-30.
[7] Joni emerzon, Hukum Bisnis Indonesia, hlm. 499.
[8] D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, (Bandung: Alfabeta, 2011), Hlm. 5-19

[9] D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, hlm. 15.
[10] Henny Mono, Alternatif Penyelesaian Sengketadan Mediasi, (Malang: Bayumedia, 2014), hlm. 24.
[11] Henny Mono, Alternatif Penyelesaian Sengketadan Mediasi, hlm. 87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERMASALAHAN PENERAPAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN

PERMASALAHAN PENERAPAN HAK ANGKET DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) TERHADAP KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) Oleh: Abdul Hafid Firdau...