BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan sesuatu pada zaman sekarang takkan
lepas dari sejarah, baik bidang hukum ataupun yang lainnya, hal ini
mengingatkan kita betapa besarnya fungsi sejarah dalam kehidupan kita, termasuk
sejarah mengenai penyelesaian sengketa, sangat menarik jika kita telaah
mengenai sejarah dari alternatif penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sengketa sendiri adalah suatu kegiatan
untuk menyatukan persepsi para pihak yang bersengketa ataupun mendamaikan
keduanya agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Kita ketahui bersama bahwa sengketa atau konflik
didalam kehidupan kita pastilah terjadi, hal ini adalah suatu kodtrat manusia, hal ini dikarenakan setiap manusia
memiliki karakteristik atau pemikiran yang berbeda, dan berangkat dari itu
pasti akan timbul konflik antara sesamanya. Hal ini yang menjadi landasan aanya
alternatif penyelesaian sengketa yang saat ini berkembang di masyarakat.
Seiring berkembangnya Alternatif penyelesaian sengketa ini, banyak tidak
mengetahui bagaimana sejarah dari alternatif penyelesaian sengketa sendiri,
baik itu sejarah penyelesaian sengketa dalam islam yakni pada masa rasulullah
serta pada masa khulafaurrasyidin dan sejarah alternatif penyelesaian sengketa
di Indonesia sendiri.
Berdasarkan latarbelakang ini kami para penulis
ingin membahas mengenai sejarah alternatif penyelesaian sengketa, agar kita
tidak lupa bagaimana sejarah dar alternatif penyelesaian sengketa itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas dapat di simpulakan
beberapa rumusan masalah yakni :
1.
Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian
Sengketa pada masa Rasulullah ?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian
Sengketa pada masa khulafaurrasyidin?
3.
Bagaimana sejarah perkembangan Alternatif Penyelesaian
Sengketa di indonesia
4.
Apa saja macam-macam dari Alternatif penyelesaian
sengketa?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui Bagaimana sejarah perkembangan
Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa Rasulullah.
2.
Untuk mengetahui Bagaimana sejarah perkembangan
Alternatif Penyelesaian Sengketa pada masa khulafaurrasyidin.
3.
Untuk mengetahui Bagaimana sejarah perkembangan
Alternatif Penyelesaian Sengketa di indonesia.
4.
Untuk mengetahui Apa saja macam-macam dari Alternatif
penyelesaian sengketa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penyelesaian Sengketa pada Masa Rasulullah
Tahkim atau mediasi yakni berlindungnya dua pihak yang
bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setujui serta rela menerima
keputusanya untuk menyelesaikan
persengketaan mereka, berlindungnya orang yang bersengketa pada orang yang
mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan atau menyelesaikan
perselisihan yang terjadi diantara mereka.21 Sedangkan pengertian
Tahkim dalam terminologi fiqih ialah adanya
dua orang atau lebih yang
meminta kepada orang lain agar diputuskan perselisihan yang terjadi
diantara mereka dengan hukum Syar’i. 22 yang sekarang kita sebut
dengan istilah mediasi.[1]
Lembaga tahkim telah dikenal sejak
jauh sebelum masa Islam. Orang-orang Nasrani apabila mengalami perselisihan di
antara mereka mengajukan perselisihan tersebut kepada Paus untuk diselesaikan
secara damai.
Lembaga tahkim juga dilakukan oleh
orang-orang arab sebelum datangnya agama Islam. Pertikaian yang terjadi di
antara mereka biasanya diselesaikan menggunakan lembaga tahkim. Pada umumnya
apabila terjadi perselisihan antar anggota suku, maka kepala suku yang
bersangkutan yang mereka pilih dan mereka angkat sebagai hakamnya. Namun, jika
perselisihan terjadi antar suku
maka kepala suku
lain yang tidak
terlibat dalam perselisihan yang
mereka minta untuk menjadi hakam.
Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahnya cukup banyak menyelesaikan
konflik yang terjadi dikalangan sahabat dan masyarakat ketika itu. Prinsip
resolusi konflik yang dimiliki oleh Al-Qur’an diwujudkan oleh nabi Muhammad
dalam berbagai bentukberupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi,
rekonsliasi,mediasi, arbitrase dan penyelesaian sengketamelalui lembaga
peradilan (ligitasi). Prinsip resolusi konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan
dalam sejumlah ayatAl-Qur’an dan hadis Nabi.[2]
Dalam surat Al-anbiya’ ayat 70 Allah menegaskan yang artinya:
“Tidak kami utus engkau wahai Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.”
Ayat ini mengungkapkan bahwa kehadiran nabi Muhammad melalui risalah Islam
bertujuan menciptaan damai, menyelesaikan konflik/ sengketadan menjadikan
manusia sebagai makhluk yang senantiasa membangun dan menciptakan damai (peace
maker). Oleh karena tu dalam menyebarkan ajaran Islam yang damai,
Al-Qur’an menggunakan pendekatan hikmah (bijaksana), mau’izah hasanah
(persuasive), dan argumentasi yang santun (An-nahl: 125). Ketiga
penndekatan ini sesuai dengan esensi ajaran agama yang enekankan penyerahan
diri secara tulus dan tanpa paksaan. Muslim adalah orang yang tulus dan selalu
menciptakan damai dalam kehidupannya.[3]
Proses penyelesaian sengketa atau konflik yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah baik setelah maupun sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul dapat
ditemukan dalam peristiwa peletakan kembali Hajar aswad dan perjanjian
Hudaibiah.
1.
Peristiwa peletakan kembali Harar Aswad
Penyelesaian sengketa
dalam peletakan kembali Hajar aswad melahirkan win-win solution antar suku dan
tidak ada suku yang merasa menang atau kalah. Nilai lain yang dapat dipetik
dalam peristiwa peletakan kebali hajar aswad adalah nilai persamaan dan
penghormatan kemanusiaan seluruh kelompok. Selain itu nilai positif lain ialah
bentuk komitmen proaktif dan kreatif dalam berpikir dari para pihak yang
difasilitasi oleh Nabi Muhammad. Para pihak bertikai harus menunjukkan
keinginan untuk menyelesaikan sengketa dengan bersedia mendengar
pandangan-pandangan kelompok lain.
2.
Perjanjian Hudaibiah
Dalam perjanjian Hudaibiah
ada beberapa poin penting yang berhasil dilakukan oleh rasul diantaranya adalah:
a.
Rasul berhasil mengajak kaum Quraisy kemeja perundingan dan menghasilkan
kesepakatan. Ini merupakan kemenangan yang luar biasa bagi kaum muslimin
mengingat bahwa orang Mekkah yang selama ini menghina dan menyakiti kaum
muslimin mulai duduk dengan Nabi dalam satu meja perundingan.
b.
Adapun nilai yang dapat dipetik dari perjanjian Hudaibiah berdasarkan
prinsip mediasi antara lain sikap negosiasi, sikap kompromi take and give, memosisikan
sama para pihak dan menghargai kesepakatan.
Pada masa Rasulullah juga juga sudah penyelesaian
perselisihan atau sengketa seperti itu. Ada beberapa peristiwa di masa
Rasulullah dan para sahabat yang diselesaikan melalui lembaga tahkim.
Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain yaitu:
1.
Peristiwa tahkim pada waktu pelaksanaan renovasi Ka’bah.
Ketika itu terjadi perselisihan antara masyarakat Arab untuk meletakkan kembali Hajar Aswad ke tempat
semula. Mereka semua merasa dirinya berhak dan merupakan kehormatan bagi mereka
untuk mengangkat Hajar Aswad tersebut. Pada mulanya mereka sepakat bahwa siapa
yang paling cepat bangun pada keesokan harinya, maka dialah yang berhak
mengangkat Hajar Aswad dan meletakkan kembali ke tempat semula. Ternyata mereka
serentak bangun pagi itu, sehingga tdak ada seorang pun diantara mereka yang lebih
berhak atas yang lainnya. Lalu mereka meminta kepada Nabi Muhammad SAW, yang
pada waktu itu belum diangkat menjadi rasul, untuk memutuskan persoalan mereka.
Dengan bijaksana Nabi Muhammad SAW membentangkan selendanganya dan meletakkan
Hajar Aswad di atasnya, lalu meminta wakil dari masing- masing suku untuk
mengankat pinggir selendang tersebut. Kebijakan Nabi Muhammad SAW tersebut
disambut dan diterima baik oleh masing-masing pihak yang ikut berselisih
pendapat pada waktu itu.
2.
Perselisihan yang terjadi di antara Alqamah dan Amr bin
Tufail yang memperebutkan posisi jabatan sebagai kepala suku lain untuk
diangkat sebagai hakam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 620.[4]
B.
Penyelesaian Sengketa pada Masa Khulafa
ar-Rasyidin
1. Pada
Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar Ash Shiddiq lahir pada tahun 568 M atau 55 tahun sebelum hijrah.
Dia merupakan khalifah pertam dan termasuk di antara orang-orang yang pertama
masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun). Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi
Kuhafah at-Tamini. Pada saat Abu Bakar RA menggantikan
Rasulullah SAW, beliau tidak merubah sistem peradilan yang berlaku pada zaman
Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau sibuk menegakkan hukum Islam dengan
memerangi kemurtadan, orang-orang muslim yang enggan membayar zakat, dan
lain-lain perkara yang berhubungan dengan politik dan hokum. Sehingga penyelesaian sengketa pun dilakukan
dengan tetap berpacu kepada al-quran dan sunnah.
2.
Kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Khalifah Abu Bakar adalah khalifah yang sangat berjasa diawal masa
khulafaur rasyidin, meski banyak sekali cobaan dan hambatan yang datang. Masa
Abu Bakar di mulai dengan munculnya permasalahan tentang siapa pemimpin yang
akan memimpin umat Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW. Pada masaini pun
penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara mengambil jalan tengah diantara
keduanya ataupun bermusyawarah, untuk mencpai suatu kesepakatan diantara
pihak-pihak yang bersengketa didalam sebuah permasalahan yang terjadi.
3.
Khalifah Usman Bin Affan
Umar bin Khatthab (583-644) memiliki nama lengkap Umar bin Khathab bin
Nufail bin Abd Al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin razail bin ‘Adi bin
Ka’ab bin Lu’ay, adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Pada masa ini penyelesaian sengketa diselesaikan dengen etap mengacu kepada
asas keadilan.
4.
Kekhalifahan Aloi Bi Abi Thalib
Masa kekhalifahan Umar bin Khatthab itu sepuluh tahun enam bulan, yaitu
dari tahun 13 H/634 M sampai dengan tahun 23 H/644 M, dan wafat karena dibunuh
diusia 63 tahun. Tragedi itu merupakan pembunuhan politik yang pertama didalam
sejarah Islam. Seperti halnya masalah tahkim, pada masa ini penyelesaian
sengketa dilakukan dengan car bermusyawarah.
C.
Sejarah dan Perkembangan Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Indonesia
Penyelesaian sengketa alternatif sudah lama dikembangkan,
baik di Barat seperti Amerika Serikat dan Norwegia22 maupun di Timur, sperti
Jepang dan Cina, baik karena alasan-alasan praktis maupun kebudayaan.
Penyelesaian sengketa melalui pegadilan di Barat dan di Timur mengandung
kelemahan, yaitu memakan waktu yang lama dari pengadilan tingkat pertama sampai
tingkat banding atau kasasi, memakan biaya yang tinggi dan merenggangkan
hubungan pihak-pihak yang bersengketa. Di negara-negara berkembang, pengadilan adakalanya,
dianggap perpanjangan tangan kekuaasaan, bahkan di beberapa negara pengadilan
dianggap tidak bersih, sehingga putusan-putusannya dianggap telah memihak yang
mendatangkan ketidakadilan.
Sejarah perkembangan ADR pertama kali di Amerika Serikat, sudah
mulai mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sejak tahun 1960-an. Hal
ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970,
dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan masyarakat akademis
mulai merasa keprihatinan serius mengenai efek negatif yang semakin meningkat
dari litigasi.. Namun, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak tersebut melalui
sistem hukum menjadi beban rumit. Oleh karena itu orang mulai mencari alternaif
terhadap adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti court coungestion, biaya
hukum yang tinggi dan waktu menunggu di pengadilan
telah menjadi cara hidup bagi orang Amerika yang mengupayakan sistem judisial
baik secara sukarela (voluntarily)
maupun tidak sukarela (involuntarily).
Di Amerika Serikat, alternatif penyelesaian sengketa
merupakan bidang yang paling berkembang, menerapkan berbagai macam proses yang
dirancang untuk mendorong pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa
melalui alternatif yang tersedia dan tidak hanya menyerahkannya kepada
ajudikasi publik. Kebanyakan proses atau upaya ini diciptakan untuk mengurangi
beban perkara pengadilan, namun para pihak yang berperkara kadang kala juga
mencari cara yang menguntungkannya sehingga dapat menghindari hasil pemeriksaan
yang merugikan.
Sebagaimana diketahui penyelesaian masalah melalui
lembaga-lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute
Resolution) secara tak langsung sudah berkembang di Indonesia, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Pancasila sebagai dasar filosofi kehidupan masyarakat Indonesia telah
mengisyaratkan bahwa asas penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk
mufakat lebih diutamakan dan demikian juga dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu sumber hukum tertulis lain yang
mengatur Alternaif Penyelesaian Sengketa .[5]
Bahwa di Indonesia, sebelum Perang Dunia II arbitrase sudah
dikenal dan dijalankan dalam praktek dan terdapat pengaturannya dalam Reglement op de Rechtverordering tentang
hal wasit, yaitu Pasal 631 s/d Pasal 650 RV. Mengapa soal perwasitan atau
arbitrase pengaturannya dalam RV dan tidak dalam HIR dikarenakan di zaman
kolonial Belanda golongan masyarakat yang menggunakan lembaga arbitrase itu
adalah golongan yang tunduk pada hukum Eropa atau Hukum Barat, yaitu golongan
yang banyak menjalankan perusahaan dan perdagangan (Eropa dan Cina). Sesuai
dengan asas konkordansi pengaturan arbitrase merupakan bagian dari hukum formal
yang terdapat dalam Pasal 377 HIR/705 Rbg yang mengatakan “apabila orang
Indonesia dan Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah (arbitrase), maka mereka
wajib menuruti peraturan Pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.[6]
Pada dasarnya keberadaan Alternatif Penyelesaian sengketa
telah diakui sejak tahun 1970 yaitu dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970
tentang Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman), dalam Penjelasan Pasal 3
Undang-Undang ini menyatakan, “ Penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas
dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan”, selain
itu Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang ini juga menyatakan “bahwa, “ketentuan
dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara
perdata secara perdamaian”.
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur penyelesaian sengketa atau beda
pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah
mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua
sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan
hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa.
Hal ini memperlihatkan bahwa undang-undang tersebut juga
menekankan kepada penyelesaian sengketa alternatif. Pasal 6 Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999 mengatur mengenai pilihan dalam penyelesaian sengketa melalui
musyawarah para pihak yang bersengketa, di bawah titel “alternatif penyelesaian
sengketa”, yang merupakan terjemahan dari Alternative dispute Resolution (ADR).
Pengertian Alternative dispute Resolution
(ADR) di sini, adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negotiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Dengan demikian jelaslah yang dimaksud Alternative
dispute Resolution (ADR) dalam perspektif Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999
itu suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan
kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara
litigasi di pengadilan.
Dalam masyarakat
Indonesia alternatif penyelesaian sengketa bukan merupakan suatu fenomena
asing, karena konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari penyelesaian
sengketa alternatif. Pengembangan alternatif penyelesaian sengketa sebagai
model penyelesaian sengketa di Indonesia dan di Amerika mempunyai latar
belakang historis yang berbeda. Alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia
adalah merupakan tradisi dari masyarakat Indonesia, sedangkan alternatif
penyelesaian sengketa alternatif penyelesian sengketa yang sengaja didesain
untuk menghindarkan penyelesaian melalui pengadilan.
Dalam Hukum Adat di Indonesia telah biasa dilakukan oleh
warga pedesaan dalam menyelesaikan suatu perselisihan. Hanya saja istilah yang
digunakan berbeda. Istilah yang dikenal dalam hukum adat tersebut, seperti
musyawarah untuk mufakat, yang pada hakekatnya sama dengan melakukan negosiasi,
mediasi dan Arbitrase. Misalnya kepala Desa atau Pemuka Adat setempat yang
diminta atau ditugaskan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
masyarakat, baik perselisihan di bidang pertanahan, hutang piutang, perkawinan,
warisan dan sebagainya. Penyelesaian masalah tersebut dilakukan dengan
musyawarah yang ditengahi oleh Kepala Desa atau Pemuka Adat. Penyelesaian
sengketa tersebut didasari oleh hukum adat setempat dan itikad baik para pihak
dan penengah.[7]
D.
Macam-Macam Alternatif Penyelesaian Sengketa
Secara garis besar bentuk penyelesaian sengketa dibagi
menjadi dua bagian yaitu:
1. Bentuk penyelesaian secara
litigasi (peradilan);
2. Bentuk penyelesaian
sengketa secara non litigasi (alternatif
dispute resolution).
Setiap masyarakat memiliki berbagai macam cara untuk
memperoleh kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaikan sengketa
dan konflik.cara yang dipakai pada suatu sengketa tentu jelas memiliki
konsekuensi, baik bagi para pihak yang bersengketa maupun masyarakat dalam arti
seluas-luasnya. Karena adanya konsekuensi itu, maka diperlukan untuk
menyalurkan sengketa-sengketa tertentu kepada suatu mekanisme penyelasaian
sengketa yang paling tepat bagi mereka. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan untuk memilih mekanisme yang paling tepat yaitu bagaimana bentuk
persoalan-persoalan para pihak dan apa yang diharapkan para pihak untuk dicapai
baik dalam penyelasaian sengketa tertentu ataupun sengketa yang lebih bersifat
umum serta biaya-biaya yang dapat atau sedianya ditanggung oleh para pihak.[8]
Beraneka ragam cara dan kreativitas manusia dalam
menyelesaikan masalahnya, ada yang menggunkan metode secara langsung face to face dengan pihak lawan
sengketanya atau yang biasa disebut dengan metode penyelesaian sengketa dwipartite dan ada pula yang menggunakan
jasa/perantaraan orang lain atau suatu lembaga tertentu untuk membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapinya atau yang biasa disebut dengan metode
penyelesaian sengketa tripartite.
Setiap cara dan bentuk penyelesaian yang dipilih itu pada prinsipnya memiliki
tujuan yang sama, yaitu mencari solusi dan penyelesaian untuk menghentikan
sengketa yang terjadi. Dalam pola penyelesaian sengketa mengandung dua prinsip
pembenaran yaitu:
a. Pola pembenaran pribadi
yang kemudian disebut sebagai prinsip penyelesaian dengan cara memutus (ajudikasi), dan
b. Pola pembenaran bersama
yang kemudian disebut sebagai prinsip penyelesaian perdamaian (non ajudikasi).
Bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi saat ini mulai dikembangkan
sebagai bentuk alternatif yang lebih dianjurkan bagi mereka yang sedang
terlibat sengketa.
Joni Emirzon menyatakan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian
sengketa yang paling umum saat ini dilakukan adalah negosiasi, mediasi,
konsiliasi, abitrase. Keempat bentuk penyelesaian sengketa tersebut dilakukan
di luar pengadilan, yang memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung yang mana
yang lebih disukai atau dianggap cocok oleh para pihak untuk menyelesaikan
permasalahan yang sedang dihadapi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi rujukan dari penyelesaian sengketa,
Beberapa bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam undang-undang tersebut
antara lain:
1. Arbitrase
Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Dalam beberapa hal arbitrase mirip dengan sistem penyelesaian
sengketa litigasi karena hasil akhirnya sama-sama berbentuk putusan yang berisi
pernyataan menang dan kalah. Salah satu yang membedakan arbitrase dengan
persidangan di pengadilan adalah pada penentuan arbiter, dimana para pihak bisa
memilih sendiri atbiter (wasit) bagi penyelesaian sengketanya berdasarkan
kesepakatan para pihak, sehingga arbiter yang menangani perkaranya dimungkinkan
adalah orang yang ahli atau memiliki pengetahuan secara khusus tentang sengketa
yang dihadapi. Secara umum arbitrase tidak jauh berbeda dengan proses peradilan
karena prosedurnya diatur oleh hukum acara yang serba formal.
2. Konsultasi,
Konsultasi adalah tidakan
yang bersifat personal antara satu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan
konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi
keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada satu rumusan yang
mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan oleh konsultan. Dalam
hal ini konsultan hanya memberikan pendapatnya (secara hukum) sebagaimana
diminta oleh kliennya yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian
sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya
pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk penyelesaian
sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.[9]
3. Negosiasi,
Negosiasi adalah proses
bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses
interaksi dan komunikasi yang sama dinamis dan variasinya, serta halus dan
bernuansa, sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang. Negosiasi adalah
metode penyelesaian secara langsung tanpa menggunakan perantara ataupun jasa
pihak ketiga, sehingga lazim disebut sebagai metode penyelesaian dua pihak (dwipartite).[10]
Dari beberapa bentuk
penyelesaian sengketa yang ada, negosiasi merupakan bentuk penyelesaian yang
paling simpel karena tidak perlu melibatkan orang lain atau pihak ketiga. Semua
tahapan dalam negosiasi ditentukan berdasarkan pola komunikasi yang dimiliki
sendiri, mulai dari proses pertemuan sampai kepada penentuan nilai-nilai
penawaran dilakukan berdasarkan kehendak dan inisiatif pribadi. Namun walaupun
demikian metode penyelesaian secara negosiasi juga memiliki kelemahan, yaitu
jika para pihak tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik, maka nyaris
metode ini tidak mungkin bisa berjalan dengan sempurna.
4. Mediasi,
Mediasi adalah metode
penyelesaian yang termasuk dalam kategori tripartite
karena melibatkan bantuan atau jasa pihak ketiga. Mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh mediator.[11]
Keterlibatan mediator di
dalam sengketa yang terjadi hanya sebagai pemacu para pihak untuk menuju
penyelesaian secara damai, sehingga mediator pada umumnya tidak turut campur
dalam menentukan isi kesepakatan damai, kecuali memang betul-betul dibutuhkan.
Hal ini didasarkan pada prinsip proses mediasi, bahwa materi kesepakatan damai
merupakan hak mutlak para pihak untuk menentukannya tanpa ada intervensi dari
pihak mediator.
5. Konsiliasi
Konsiliasi sebagai proses
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak
dengan tugas sebagai fasilitator untuk menemukan para pihak agar dapat
dilakukan penyelesaian sengketa. Dalam praktiknya sulit dibedakan antara
konsiliasi dengan mediasi, karena memiliki karakteristik yang hampir sama,
bahkan dalam beberapa hal memang tidak bisa dibedakan di antara keduanya.
Perbedaan antara konsiliasi dengan mediasi adalah pada peran pihak ketiga (konsiliator) di dalam proses
penyelesaian sengketa. Seorang konsiliator lebih bersifat aktif dibandingkan
dengan mediator, walaupun sebenarnya dalam beberapa hal sulit untuk membedakan
secaraa tegas antara mediator dengan konsiliator.
6. Penilaian Ahli
Penilaian ahli atau biasa
juga disebut pendapat ahli adalah suatu keterangan yang dimintakan oleh para
pihak yang sedang bersengketa kepada seorang ahli tertentu yang dianggap lebih
memahami tentang suatu materi sengketa yang terjadi. Permintaan pendapat ahli
disebabkan karena adanya perbedaan pendapat di antara kedua belah pihak.
Pendapat ahli dimintakan, baik terhadap persoalan pokok sengketa maupun di luar
pokok sengketa jika itu memang diperlukan, atau dengan kata lain pendapat ahli
pada umumnya bertujuan untuk memperjelas duduk persoalan di antara yang
dipertentangkan oleh para pihak
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Nabi Muhammad
dalam perjalanan sejarahnya cukup banyak menyelesaikan konflik yang terjadi
dikalangan sahabat dan masyarakat ketika itu. Prinsip resolusi konflik yang
dimiliki oleh Al-Qur’an diwujudkan oleh nabi Muhammad dalam berbagai
bentukberupa fasilitasi, negosiasi, adjudikasi, rekonsliasi,mediasi, arbitrase
dan penyelesaian sengketamelalui lembaga peradilan (ligitasi). Prinsip resolusi
konflik dan penyelesaian sengketa ditemukan dalam sejumlah ayatAl-Qur’an dan
hadis Nabi, dan pada masa khulafaurrasyidin juga telah ada alternatif
penyelsaian sengketa. Diindonesia sendiri alternatif penyelesaian sengketa bukan merupakan suatu
fenomena asing, karena konsensus dan kompromi yang menjadi inti dari penyelesaian
sengketa alternatif. Adapun macam-macam dari alternatif penyelesaian sengketa
itu sendiri ada enam macam yakni; Arbitrase, Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Penilaian Ahli.
B. Saran
Alhamdulillah kami telah
menyelesaikan makalah ini dengan tempo yang sangat singkat sekali, oleh karena
itu kami sadar makalah ini banyak memiliki kekurangan, dikarenakan waktu kami
yang terbatas dan sangat singkat. Kami berharap bagi para pembaca untuk
memberikan saran kepada kami, baik mengenai isi dari makalah kami ataupun susunan
dari makalah kami.
Daftar Pustaka
D.Y. Witanto, Hukum
Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, (Bandung: Alfabeta,
2011).
Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003).
Henny Mono, Alternatif Penyelesaian Sengketadan Mediasi, (Malang:
Bayumedia, 2014).
Hudhori, Muhammad. Tarikh
At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain.
R.Subekti, Kumpulan
Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan,
(Bandung: Alumni, 1980),
Joni emerzon, Hukum
Bisnis Indonesia, (Palembang: Kajian Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, 2002).
Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: pustaka Al
husna, 1983).
https://hakamalmun.wordpress.com/2015/10/25/sejarah-peradaban-islam-pada-masa-khulafaurrasyidin/ diakses pada
06/03/18 pukul 23;00
[1] Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 1750.
[3] https://hakamalmun.wordpress.com/2015/10/25/sejarah-peradaban-islam-pada-masa-khulafaurrasyidin/ diakses pada 06/03/18 pukul 23;00
[4] Salabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: pustaka Al husna,
1983) hal: 226
[5] Joni emerzon, Hukum Bisnis Indonesia, (Palembang: Kajian Hukum dan Bisnis
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2002), hlm. 496-497.
[6] R.Subekti, Kumpulan Karangan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, (Bandung: Alumni, 1980),
hlm.29-30.
[7] Joni emerzon, Hukum Bisnis Indonesia, hlm. 499.
[8] D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum
dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, (Bandung: Alfabeta,
2011), Hlm. 5-19
[9] D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum
dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, hlm. 15.
[10] Henny Mono, Alternatif Penyelesaian
Sengketadan Mediasi, (Malang: Bayumedia, 2014), hlm. 24.
[11] Henny Mono, Alternatif Penyelesaian
Sengketadan Mediasi, hlm. 87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar